ILMU POLITIK & PERILAKU POLITIK
Ilmu politik merupakan bidang ilmu yang banyak mengkaji gejala maupun fenomena sosial politik sehingga nantinya mampu menerapkan teori-teori ilmu politik untuk menawarkan solusi dari permasalahan sosial politik.
Ilmu politik adalah cabang sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan perilaku politik. Ilmu ini berorientasi akademis, teori, dan riset.
1.Klasik
Menurut Aristoteles, manusia merupakan makhluk politik dan sudah menjadi hakikat manusia untuk hidup dalam polis. Hanya dalam polis itu manusia dapat memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena di sana urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan tindakan-tin- dakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Di luar polis manusia dipandang sebagai makhluk yang berderajat di bawah manusia seperti binatang atau sebagai makhluk yang berderajat di atas manusia seperti Dewa atau Tuhan." Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan ke- pentingan umum atau kebaikan bersama? Apakah yang harus dipan- dang sebagai isi atau substansi kebaikan bersama? Siapakah yang harus menafsirkan suatu urusan merupakan kepentingan umum atautidak?
Rumusan kepentingan umum yang dikemukakan oleh para sarjana sangat bervariasi. Sebagian orang mengatakan kepenting- an umum merupakan tujuan-tujuan moral atau nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak, seperti keadilan, kebaikan, kebahagiaan, dan kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan umum sebagai keinginan orang banyak sehingga mereka membedakan general will (keinginan orang banyak atau kepentingan umum) dari will of all (ke- inginan banyak orang atau kumpulan keinginan banyak orang).
2.Kelembagaan.
Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu.
Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunnakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk memengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara maupun antarkelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupa- kan suatu struktur administrasi atau organisasi yang konkret, dan dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan.
Berdasarkan pendapat Weber, disimpulkan
tiga aspek sebagai ciri negara, yaitu:
1. berbagai struktur yang mempunyai fungsi
yang berbeda, seperti jabatan, peranan, dan lembaga-lembaga, yang semuanya
memiliki tugas yang jelas batasnya, yang bersifat kompleks, formal, dan
permanen;
2. kekuasaan yang menggunakan paksaan yang dimonopoli oleh negara. Negara memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang final yang mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk menegakkan putusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan, negara meng- gunakan aparatnya, seperti polisi, militer, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan; dan
3. kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya
berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut.
3.Kekuasaan
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan kekuasaan? Menurut pandangan ini, kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang memengaruhi. Kekuasaan dilihat sebagai in- teraksi antara pihak
yang memengaruhi dan dipengaruhi, atau yang satu memengaruhi dan yang lain
mematuhi. Hubungan ini selalu diamati dan dipelajari oleh ilmuwan politik
yang mengikuti pandangan ketiga ini.
Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan kekuasaan juga memiliki kelemahan. Pertama, konseptualisasi tersebut tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiai atau pendeta untuk memengaruhi jemaat agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas diikuti, kemampuan para pemimpin agama untuk memengaruhi cara berpikir dan perilaku anggota jemaah, termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua, kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep- konsep yang lain, seperti kewenangan, legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi, politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan merupakan konseptualisasi yang terlalu luas dan kurang tajam. Walaupun demikian, harus dicatat, konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tak terpisahkan dari ilmu politik.
4.Fungsionalisme
Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan di atas, dewasa ini para ilmuwan politik memandang politik dari kacamata fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elite politik dalam membuat dan melak- sanakan kebijakan umum.
Di antara ilmuwan politik yang menggunakan kacamata fungsional dalam mempelajari gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. Easton merumuskan politik sebagai the authorita- tive allocation of values for society, atau alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang memengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam ma- syarakat.
Sementara itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai ma- salah who gets what, when, how," atau masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. "Mendapatkan apa" artinya mendapatkan nilai- nilai. "Kapan" berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menen- tukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. "Bagaimana" berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai? Fungsionalisme mengartikan nilai-nilai sebagai hal-hal yang di- inginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalam- an upaya yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik, seperti keadilan, keamanan, kebebasan, persamaan, demokrasi, ke- percayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme, dan ada pula nilai-nilai yang bersifat konkret, se- perti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pen- didikan, sarana perhubungan dan komunikasi, dan rekreasi. Pendek kata, nilai-nilai itu ada yang berupa kebutuhan ideal spiritual, ada pula yang bersifat material jasmaniah. Nilai-nilai yang abstrak dan konkret itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan umum yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jadi, kegiatan memengaruhi pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti memengaruhi pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat.
Kelemahan pandangan fungsionalisme ialah menempatkan pemerintah sebagai sarana dan wasit terhadap persaingan di antara berbagai kekuatan politik untuk mendapatkan nilai-nilai yang terbanyak dari kebijakan umum. Fungsionalisme mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki kepentingan sendiri, baik berupa kepentingan yang melekat pada lembaga pemerintah (yang mewakili tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki otonomi (terlepas dari pengaruh masyarakat), dan memiliki kemampuan (yang melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat sendiri). Negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki kepentingan yang berbeda dari pelbagai kepentingan. yang bersaing atau bertentangan dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga sebagai statist perspective (perspektif Negara).
Di samping itu, fungsionalisme cenderung melihat nilai-nilai secara instrumental bukan sebagai tujuan seperti yang ditekankan pandangan klasik. Bagi fungsionalisme, nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif karena berbeda dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain. Dalam hal ini, dilupakan politik tidak pernah dapat bersifat netral, bahwa politik secara ideal seharusnya menyangkut kebaikan bersama.
5.Konflik
Menurut pandangan ini, kegiatan untuk
memengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain merupa-
kan upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai- nilai. Dalam
memperjuangkan upaya itu, sering terjadi perbedaan pendapat, perdebatan,
persaingan, bahkan pertentangan yang bersi- fat fisik di antara pelbagai pihak.
Dalam hal ini antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka
yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan,
antara pihak yang sama-sama berupaya keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang
sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini
mereka kuasai.
Akan tetapi, konseptualisasi ini tidak seluruhnya tepat. Hal itu disebabkan, selain konflik, konsensus, kerja sama, dan integrasi juga terjadi dalam hampir semua proses politik. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, dan pertentangan untuk mendapatkan dan /atau mempertahankan nilai-nilai itu justru diselesaikan melalui proses dialog sehingga sampai pada suatu konsensus atau melalui kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pem- bagian dan penjatahan nilai-nilai. Oleh karena itu, keputusan politik merupakan upaya penyelesaian konflik politik.
Dari segi metodologi, kelima pandangan itu acap kali dikelompokkan menjadi dua kategori umum, yakni tradisional dan behavioralisme. Ilmu politik tradisonal memandang gejala politik dari segi normatif (ought to be atau yang seharusnya) dan menganggap tugas ilmu politik untuk memahami dan memerikan gejala politik, bukan menjelaskan apalagi memperkirakan apa yang akan terjadi. Ilmu politik tradisional melihat politik sebagai perwujudan tujuan masyarakat-negara. Yang termasuk ilmu politik tradisional dalam. hal ini berupa pandangan klasik dan kelembagaan. Behavioralisme memandang politik dari segi apa adanya (what it is) yang berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi seperti itu, kalau mungkin memperkirakan juga gejala politik apa yang akan terjadi. Behavioralisme melihat politik sebagai kegiatan (perilaku), yang ber- awal dengan asumsi terdapat keajegan atau pola dalam perilaku ma- nusia. Oleh karena itu, politik sebagai pola perilaku dapat dijelaskan dan diperkirakan. Yang termasuk behavioralisme dalam hal ini yang berupa kekuasaan, konflik, dan fungsionalisme.
Perilaku Politik
Interaksi antara pemerintah dan masyarakat di antara lemba- ga-lembaga pemerintah dan di antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan pe- negakan keputusan politik, pada dasarnya merupakan perilaku poli- tik. Di tengah masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi. Sebagian dari perilaku dan interaksi dapat dicermati akan berupa perilaku politik, yaitu perilaku yang bersangkutpaut dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya. Termasuk ke dalam kategori kegiatan ekonomi, yakni kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan jasa, mengkonsumsi barang dan jasa, menukar, mena- nam, dan menspekulasikan modal. Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik.
Ada pihak yang memerintah, ada pula yang menaati pemerin- tah; yang satu mempengaruhi, yang lain menentang, dan hasilnya berkompromi; yang satu menjanjikan, yang lain kecewa karena janji tidak dipenuhi; berunding dan tawar-menawar; yang satu memak- sakan putusan berhadapan dengan pihak lain yang mewakili ke- pentingan rakyat yang berusaha membebaskan; yang satu menutupi
kenyataan yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat atau yang akan mempermalukan), pihak lain berupaya memaparkan kenyataan yang sesungguhnya, dan mengajukan tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang akan terjadi. Semua ini merupakan perilaku politik.
Yang selalu melakukan kegiatan politik
ialah pemerintah (lembaga dan peranannya) dan partai politik karena fungsi
mereka dalam bidang politik. Oleh karena itu, perilaku politik dibagi dua,
yakni perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah, dan
perilaku politik warga negara biasa (baik individu maupun kelom- pok). Yang
pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan, dan menegakkan keputusan
politik, sadangkan yang kedua tidak berwenang seperti yang pertama, tetapi
berhak memengaruhi pihak yang pertama dalam menjalankan fungsinya karena apa
yang dilaku- kan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan
politik pihak kedua ini disebut partisipasi politik.